Noteza.id | Parigi Moutong – Pengabdian adalah segalanya, terlepas dari kepentingan pribadi, kehidupan yang singkat akan lebih berarti jika bisa bermanfaat bagi masyarakat. Memanusiakan manusia adalah tujuan dari Yang Maha Kuasa menciptakan manusia ke dunia ini.
Hal itulah yang selalu terpatri dalam hati salah seorang Politisi yang kini duduk di kursi DPRD Kabupaten Parigi Moutong.
Fery Budiutomo, sosok rendah hati yang cukup dikenal oleh masyarakat Kabupaten Parigi Moutong. Kepiawaiannya meleburkan diri di berbagai situasi, menjadikan dirinya sebagai trend politisi berjiwa muda. Tidak sedikit masyarakat yang menaruh harap untuknya agar terus berada di tengah masyarakat.
Perjalanan karir yang dirintisnya bisa dibilang cukup gemilang, meskipun sebenarnya banyak menemui rintangan yang tidak mudah untuk ditaklukkan. Namun Fery Badai (Sapaan Akrabnya red) tetaplah Fery, sosok yang selalu sumringah diberbagai kondisi terburuk sekalipun.
Mantan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kesatuan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) itu adalah pribadi yang teguh. Keyakinannya dalam memutuskan pilihan dalam hidup, selalu dibarengi dengan keberanian dan kepercayaan diri.
Tidak mudah mengambil keputusan untuk meninggalkan Institusi Polri yang saat itu jelas-jelas berperan penting dalam membesarkan namanya sebagai salah satu aparat Kepolisian yang benar-benar berpegang teguh pada sumpah dan janji yang telah diucapkan.
Apalagi, keputusan yang diambil harus diperhadapkan oleh situasi sulit karena pilihan selanjutnya adalah sesuatu yang belum pernah dijalankan semasa hidup. Jelas, jika hanya berpikir faedah untuk diri sendiri, tentunya hanya akan melahirkan kekecewaan yang mendalam di kemudian hari.
Dari Polisi Jadi Politisi
Bermula pada tahun 2016, Fery meminta restu kepada orang tuanya terkait keputusannya pada saat itu. Sebab, orang tuanyalah sosok yang sangat berperan penting dalam karirnya di kepolisian.
Pada saat akan meminta izin dari Ibunda tercinta, Fery harus diperhadapkan oleh masalah lain karena sang Ibunda dalam kondisi sakit yang cukup parah.
“Sampai saya diterima di polisi memang support yang luar biasa dari Almarhumah ibu saya. Ini yang menjadi pertimbangan, waktu itu ibu saya dalam kondisi sakit, sementara saya harus mengambil keputusan yang banyak orang bilang bahwa saya ini mengambil keputusan keluar dari zona nyaman,” jelasnya.
Sebelum memutuskan keluar dari institusi Polri, pria kelahiran 29 Desember 1984 itu juga banyak berdiskusi dengan orang-orang yang ia percaya mengenai pilihannya untuk melepas seragam institusi yang telah dikenakannya selama 14 tahun. Banyak pro dan kontra yang ditemui, ada yang mendukung dan ada pula yang tidak sepaham dengan apa yang akan dipilih oleh ayah dari Hutomo Gagah Purwoko itu.
“Waktu itu saya belum terpikir harus jadi apa, saya harus kemana, sementara memang saya sangat memegang tinggi tribata yang saya miliki, memegang tinggi institusi kepolisian pada waktu itu,” ucapnya.
Namun, dengan pemikiran yang matang dan keyakinan yang kuat, ditambah lagi dorongan sejumlah tokoh masyarakat yang merasa terbantu oleh perbuatan-perbuatan baiknya, menambah tekadnya untuk keluar dari Kepolisian.
“Sebenarnya keputusan ini sudah terwacana sejak tahun 2016, ada beberapa tokoh masyarakat yang mendatangi saya dari wilayah utara sana. Jadi waktu itu beliau-beliau yang datang, mereka bertanya bagaimana cara mereka untuk membalas semua perbuatan saya yang mereka anggap baik,” ujar pria yang akrab dengan slogan Silaturahmi Tanpa Batas itu.
Lebih dari satu tahun merenungi kelanjutan nasibnya, akhirnya pada tahun 2017 ia benar-benar melepas segala jenis atribut kepolisian.
“Pemikiran saya pada waktu itu, kita ini kan PNS, entah hari ini, entah besok entah tahun depan, entah sepuluh tahun depan entah sampai kita pensiun kita akan tetap kembali ke masyarakat. Maka dari situ saya mempersiapkan diri untuk cepat kembali ke masyarakat. Entah diterima atau pun tidak,” bebernya.
Berlanjut ke tahun 2017, sebelum mendapat lampu hijau dari orang tua, Fery mengabarkan kepada tokoh-tokoh masyarakat bahwa dirinya siap untuk mengabdikan diri dan terjun ke ranah politik untuk bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat.
“Saya sampaikan kepada masyarakat bahwa saya siap untuk berhenti dari polisi dan akan terjun ke ranah politik dengan tetap melakukan pelayanan seperti waktu di kepolisian,” kata Fery.
“Setelah itu ibu saya memberikan tandatangan persetujuan, saya bawa ke polres, dengan proses yang begitu sangat ketat, kemudian ke polda, dan pada akhirnya saya secara resmi diberhentikan dengan hormat,” tambahnya.
Setelah itu, dalam masa transisi menuju pencalonan legislatif tahun 2019, Fery menganggur tanpa status sosial yang jelas. Namun menurutnya kondisi itu tidak berbeda sama sekali sewaktu dia masih di kepolisian.
“Pada intinya bahwa orang tidak harus melihat strata sosial, tapi bagaimana ketika kita mampu menghargai diri kita, orang lain pasti akan menghargai kita,” sebutnya.
Suami dari Eny Susilowati itu mengakui, dalam perjalanan politiknya, ia selalu dikuatkan oleh keluarga, sahabat-sahabatnya, keluarga besar komunitas motor trail Solid Parigi Moutong. Dengan kerja keras mereka dalam membantu, Fery Budiutomo berhasil meraup suara terbanyak Calon Legislatif dan berhasil mengantarkan dirinya duduk sebagai Ketua Komisi IV DPRD Parigi Moutong dari Fraksi Partai Nasdem.
“Alhamdulillah, legitimasi dan support dari masyarakat luar biasa pada saat itu dengan jumlah suara yang saya peroleh pun sangat besar,” kenangnya.
Berpedoman Pada Pesan Ibunda
Ditengah perjalanan menunggu pelantikan di DPRD, ia selalu menyempatkan diri menemani ibunya ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah, karena kondisi ibunya yang semakin parah.
Sampai di rumah sakit, seperti biasa Fery ingin menggendong ibunya saat akan masuk ke ruang cuci darah. Menurutnya, saat itu ada yang sedikit mengganjal ketika ia memegang kaki sang ibu untuk diangkat, ibunya malah berkata agar tidak perlu lagi mengangkat kakinya.
“Jangan lagi kamu angkat saya, nanti kamu capek. Ketika kamu capek nanti kamu tidak bisa urus masyarakat semua,” ujar Fery menirukan perkataan Almarhumah Ibunya.
Kata-kata itu baginya merupakan pesan terakhir dari mendiang ibunya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Itulah yang menjadi pedoman dirinya hingga saat ini.
“Itu pesan terakhir ibu saya, dan itu menjadi pedoman saya dalam melaksanakan tugas sehari-hari di DPR. Maka potensi dan kemampuan yang saya punya akan saya berikan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat,” terangnya.
“Dari proses ini, apa yang telah masyarakat berikan kepada saya, maka saya tidak bisa lupa dengan apa yang menjadi niat dan ikhtiar saya dalam hati.
Saya harus terus mencoba, tetap belajar, saya harus bisa membuktikan bahwa hari ini saya adalah representasi dari masyarakat jelata, dari masyarakat miskin yang diberikan kesempatan untuk mewakili mereka-mereka di kedewanan.
Niat ini akan terus saya bawa dengan terus berikhtiar, walaupun sejatinya manusia penuh dengan kekurangan, saya yakin bahwa kekurangan masih banyak, tapi saya akan terus berproses hingga nanti apa yang menjadi harapan masyarakat melalui saya bisa terwujud.
Dengan kapasitas dan posisi saya saat ini, jelas banyak yang bilang saya tidak bisa berbuat banyak, tapi jika urusan ini menyangkut tentang masyarakat, kesehatan dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan orang-orang bawah di akar rumput, sebisa mungkin saya akan memerdekakan hak-hak mereka.
Dan ini sudah saya lakukan setelah saya dilantik tahun 2019 di bulan September hingga saat ini sudah dua tahun saya duduk di DPRD Parigi Moutong ini.
Tapi saya katakan, semua tidak terlepas dari kekurangan, saya juga manusia biasa bukan malaikat yang bisa sekaligus menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak.
Secara pribadi saya memohon maaf, apabila selama dua tahun ini apa yang saya lakukan belum memenuhi hasrat kebutuhan masyarakat. Tetapi perjuangan akan terus berlanjut, hingga mimpi-mimpi kita semua, rakyat jelata, bisa terwujud,” tutupnya.
M. Taswan