Noteza.id | Khazanah – Ubadah bin Al Shamit menceritakan: Pada suatu hari Rasulullah Muhammad SAW menceritakan: “Maukah aku tunjukkan hal-hal yang menyebabkan Allah mengangkat derajatnya”. Ketika sahabat-sahabatnya berkata “Na’am ya Rasulullah”, kemudian Rasul berkata: “Engkau maklumi orang yang menentangmu karena ketidaktahuannya, engkau maafkan orang yang menganiayamu, engkau berikan rezekimu kepada orang yang mengharamkan hartanya untukmu dan engkau sambungkan persaudaraan dengan orang yang memutuskannya (Al-Tagrib wa Al Tarhib 3:342).
Sungguh, ajaran Rasulullah sangat mulia. Secara manusiawi, kita akan sulit memaklumi orang yang menentang kita, memaafkan orang yang justru telah menganiaya kita, atau memberikan rezeki kepada orang yang telah mengharamkan hartanya untuk kita dan kita menyambungkan kasih sayang persaudaraan kepada orang yang sudah memutuskannya. Justru karena kesulitan itulah kemudian Allah mengangkat derajat kita lebih tinggi. Kita akan menjadi manusia biasa jika kita tentang orang yang menentang kita, kita balas dengan aniaya kepada orang yang menganiaya kita; atau kita haramkan juga harta kita kepada mereka yang telah mengharamkan hartanya untuk kita; serta kita jauhi mereka yang telah memutuskan silaturahim dengan kita.
Dalam konsep psikologi komunikasi dikenal dengan “homeophaty” yaitu menciptakan suatu kondisi yang kontras dengan keadaan agar mencapai suatu keseimbangan psikologis. Dalam keseharian, jika kita mengalami kondisi stres, maka kita kemudian mensugesti diri kita dengan ungkapan tenang dan rileks. Jika kita mengalami cacian dan hinaan yang menyakitkan, maka kita balas cacian dan hinaan itu dengan kalimat pujian dan penghargaan, maka secara psikologis kita akan mengalami keseimbangan. Tindakan itu sulit kita lakukan, akan tetapi jika kita berhasil melakukannya maka secara psikologis kita akan jauh lebih sehat dan lebih berfikir positif.
Kesehatan jiwa karena tindakan dan ucapan kita bukan sebagai sebuah pemberian dari orang lain, melainkan kita ciptakan, kita bangun dan kita pelihara. Para motivator atau para konsultan kejiwaan melalui seminar atau jaringan media sosial seringkali memberikan sugesti positif agar kita selalu berfikir positif dan optimistis, padahal sejak 1500 tahun lalu Rasulullah telah mengajarkan nilai-nilai positif ini dalam keseharian kita dengan prinsip homeophaty ini.
Kondisi homeophatis kita alami pada bulan Ramadhan ini. Seringkali kita berhasil menahan amarah kita kepada orang lain dengan ucapan karena sedang puasa, atau ungkapan spontan “untung sedang puasa” ketika kita tidak mengumbar amarah kepada situasi yang memungkinkan kita melakukannya. Secara biologis kita haus dan lapar, sementara minuman dan makanan tersedia di siang hari, karena tubuh dan jiwa kita dipersiapkan dalam keadaan puasa, akhrnya kita tidak meminum dan memakannya walaupun minuman dan makanan itu halal.
Menciptakan kondisi kontras atas suatu keadaan negatif dengan dasar sugesti positif hakikatnya adalah suatu proses pelatihan dan pendidikan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan prinsip keseimbangan. Ramadhan menjadi “madrasah ruhaniah” dalam menciptakan kondisi seperti itu. Satu perduabelas bulan dalam setahun ummat muslin yang beriman melakukan “pesantren” melalui “madrasah ruhaniah” bulan Ramadhan. Keberhasilan pesantren ini akan tercermin dalam sebelas bulan berikutnya. Indikatornya adalah kita akan jauh lebih sehat, baik secara ruhaniah, psikologis maupun biologis kita, termasuk dalam perilaku komunikasi kita dengan orang lain. Selain tubuh dan jiwa kita lebih sehat, kita menjadi orang yang berhasil membiasakan mengcapkan kata-kata santun kepada orang yang menentang kita; mengungkapkan kelembutan hati kepada mereka yang menganiaya kita; memberikan harta kita kepada orang yang mengaharamkan hartanya untuk kita; dan menebarkan kasih sayang kita kepada orang yang memutuskan silaturahim adalah hasil kelulusan kita menempuh pesantren di madrasah ruhaniah ramadhan ini. Dan tentu saja kita akan otomatis naik derajat kita di hadapan Allah SWT. Insha Allah.
artikel asli : unpad.ac.id